TEORI DALAM
KRIMINOLOGI
Ada beberapa penggolongan teori
dalam kriminologi antara lain(Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 108-143) :
1. Teori Asosiasi
Diferensial (Differential Association Theory)
Sutherland menghipotesakan
bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan dengan
mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk norma hukum. Proses
mempelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan sesungguhnya, namun juga
motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang nyaman yang memuaskan bagi
dilakukannya perbuatan-perbuatan anti sosial.
Theori asosiasi differensial
Sutherland mengenai kejahatan menegaskan bahwa :
a. Perilaku
kriminal seperti halnya perilaku lainnya, dipelajari.
b. Perilaku
kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu
proses komunikasi.
c. Bagian penting
dari mempelajari perilaku kriminal terjadi dalam pergaulan intim dengan mereka
yang melakukan kejahatan, yang berarti dalam relasi langsung di tengah
pergaulan.
d. Mempelajari
perilaku kriminal, termasuk didalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/
dorongan atau alasan pembenar.
e. Dorongan
tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundang-undangan;
menyukai atau tidak menyukai.
f. Seseorang
menjadi deliquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan
lebih suka melanggar daripada mentaatinya.
g. Asosiasi
diferensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan
intensitas.
h. Proses
mempelajari perilaku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti
kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.
i.
Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan
nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal tersebut tidak dapat
dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi, oleh karena perilaku
non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang
sama.
2. Teori Tegang (Strain
Theory)
Teori ini beranggapan bahwa manusia
pada dasarnya makhluk yang selalu memperkosa hukum atau melanggar hukum,
norma-norma dan peraturan-peraturan setelah terputusnya antara tujuan dan cara
mencapainya menjadi demikian besar sehingga baginya satu-satunya cara untuk
mencapai tujuan ini adalah melalui saluran yang tidak legal. Akibatnya, teori
“tegas” memandang manusia dengan sinar atau cahanya optimis. Dengan kata lain,
manusia itu pada dasarnya baik, karena kondisi sosiallah yang menciptakan
tekanan atau stress, ketegangan dan akhirnya kejahatan.
3. Teori Kontrol
Sosial (Social Control Theory)
Landasan berpikir teori ini adalah
tidak melihat individu sebagai orang yang secara intriksik patuh pada hukum,
namun menganut segi pandangan antitesis di mana orang harus belajar untuk tidak
melakukan tindak pidana. Mengingat bahwa kita semua dilahirkan dengan
kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan di dalam masyarakat,
delinkuen di pandang oleh para teoretisi kontrol sosial sebagai konsekuensi
logis kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam
terhadap perilaku melanggar hukum.
Terdapat empat unsur kunci dalam
teori kontrol sosial mengenai perilaku kriminal menurut Hirschi (1969), yang
meliputi :
a. Kasih Sayang
Kasih sayang ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang
ada antara individu dan saluran primer sosialisasi, seperti orang tua, guru dan
para pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan ukuran tingkat terhadap mana
orang-orang yang patuh pada hukum bertindak sebagai sumber kekuatan positif
bagi individu.
b. Komitmen
Sehubungan dengan komitmen ini, kita
melihat investasi dalam suasana konvensional dan pertimbangan bagi
tujuan-tujuan untuk hari depan yang bertentangan dengan gaya hidup delinkuensi.
c. Keterlibatan
Keterlibatan, yang merupakan ukuran
kecenderungan seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
konvensional mengarahkan individu kepada keberhasilan yang dihargai masyarakat.
a. Kepercayaan
Akhirnya kepercayaan memerlukan
diterimanya keabsahan moral norma-norma sosial serta mencerminkan kekuatan
sikap konvensional seseorang. Keempat unsur ini sangat mempengaruhi ikatan
sosial antara seorang individu dengan lingkungan masyarakatnya.
4. Teori Label (Labeling
Theory)
Landasan berpikir dari teori ini
diartikan dari segi pandangan pemberian norma, yaitu bahwa sebab utama
kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label oleh
masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya.
(Gibbs dan Erickson, 1975; Plummer 1979; Schur 1971).
Terdapat banyak cara dimana
pemberian label itu dapat menentukan batas bersama dengan perilaku kriminal
telah dijadikan teori, misalnya bahwa pemberian label memberikan pengaruh
melalui perkermbangan imajinasi sendiri yang negatif. Menurut teori label ini
maka cap atau merek yang dilekatkan oleh penguasa sosial terhadap warga
masyarakat tertentu lewat aturan dan undang-undang sebenarnya berakibat panjang
yaitu yang di cap tersebut akan berperilaku seperti cap yang melekat itu. jadi
sikap mencap orang dengan predikat jahat adalah kriminogen.
5. Teori Psikoanalitik (Psyco Analytic Theory)
Menurut Sigmund Freud, penemu
psikonanalisa, hanya sedikit berbicara tentang orang-orang kriminal. Ini
dikarenakan perhatian Freud hanya tertuju pada neurosis dan faktor-faktor di
luar kesadaran yang tergolong kedalam struktur yang lebih umum mengenai
tipe-tipe ketidakberesan atau penyakit seperti ini. Seperti yang dinyatakan
oleh Alexander dan Staub (1931), kriminalitas merupakan bagian sifat manusia.
Dengan demikian, dari segi pandangan psikoanalitik, perbedaan primer antara
kriminal dan bukan kriminal adalah bahwa non kriminal ini telah belajar
mengontrol dan menghaluskan dorongan-dorongan dan perasaan anti-sosialnya.
1. Teori Rancangan
Pathologis (Pathological Simulation Seeking)
Menurut Herbert C. Quay (1965)
mengemukakan teori kriminalitas yang didasarkan pada observasi bahwa banyak
kejahatan yang nampak memberikan seseorang perasaan gempar dan getaran hati
atau sensasi. Kriminalitas merupakan manifestasi “banyak sekali kebutuhan bagi
peningkatan atau perubahan-perubahan dalam pola stimulasi si pelaku”.
Abnormalitas primer oleh karenanya dianggap sebagai sesuatu yang terletak dalam
respon psikologis seseorang pada masukan indera. Berarti perilaku kriminal
merupakan salah satu respon psikologis sebagai salah satu alternatif perbuatan
yang harus ditempuh. Lebih spesifik lagi telah dihipotesakan bahwa para
kriminal memiliki sistem urat syarat yang hiporeaktif terhadap rangsangan.
Beberapa bahasan dari teori
rangsangan pathologis yang perlu mendapat perhatian :
a. Kriminal
dilakukan dengan sistem urat syarat yang diporeaktif dan otak yang kurang
memberi respon, keadaan demkian tidak terjadi dalam vakum, melainkan
berinteraksi dengan tujuan tempat tinggal tertentu dimana individu hidup dalam
pergaulan.
b. Anak-anak
pradelinkuen cenderung membiasakan diri terhadap hukuman yang diterimanya dan
rangsangan ini dengan mudah menambah frustasi dikalangan orang tua. Pola ini
kemudian bergerak dalam lingkungan interaksi negatif “orang tua dan anak” yang
pada gilirannya membentuk remaja dan orang dewasa yang bersifat bermusuhan,
memendam rasa benci dan anti sosial. Kecenderungan mencuri rangsangan pathologis
ini merupakan bagian dari gambaran kriminal.
c. Interaksi
orang-orang keadaan meliputi hipotesa :
1) Bahwa respon
parental yang negatif dan tidak konsisten terhadap perilaku mencari rangsangan
atau stimuli sang anak, merupakan daya etiologis dalam perkembangan
kecenderungan-kecenderungan kriminalitas selanjutnya.
2) Bahwa
abnormalitas psikologis sang anak akan menyulitkan baginya mangantisapasi
konsekuensi yang menyakitkan atas perbuatannya.
Kedua faktor di atas merupakan faktor yang memberi kontribusi
kepada siklus yang merugikan dalam interkasi orang tua anak yang bersifat
negatif yang pada gilirannya berkulminasi pada pola kriminalitas berat.
Christopher Mehew dalam penelitiannya mengenai kriminal dan prikologis
menemukan adanya pengaruh kejiwaan terhadap perilaku jahat yang disimpulkan
sebagai tingkat kedewasaan yang terhambat (emotional-immaturity) dan
ternyata kondisi ini dipengaruhi oleh masalah-masalah keluarga yaitu disharmonie
home dan broken home.
2. Teori Pilihan
Rasional (Rational Choice Theory)
Landasan
berpikir teori ini menitikberatkan pada utilitas atau pemanfaatan yang
diantisipasi mengenai taat pada hukum lawan perilaku melawan hukum. Pendukung
semula teori pilihan rasional, Gary Becker (1968) menegaskan bahwa akibat pidana
merupakan fungsi, pilihan-pilihan langsung serta keputusan-keputusan yang
dibuat relatif oleh para pelaku tindak pidana bagi yang terdapat baginya.
Pilihan rasional berarti pertimbangan-pertimbangan yang rasional dalam
menentukan pilihan perilaku yang kriminal atau non kriminal, dengan kesadaran
bahwa ada ancaman pidana apabila perbuatannya yang kriminal diketahui dan
dirinya diprotes dalam peradilan pidana. Apabila demikian seolah-olah semua
perilaku kriminal adalah keputusan rasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar