Kamis, 17 Mei 2012

Kriminologi


TEORI DALAM KRIMINOLOGI
Ada beberapa penggolongan teori dalam kriminologi antara lain(Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 108-143) :
1.    Teori Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory)
Sutherland  menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk norma hukum. Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan sesungguhnya, namun juga motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang nyaman yang memuaskan bagi dilakukannya perbuatan-perbuatan anti sosial.
Theori asosiasi differensial Sutherland mengenai kejahatan menegaskan bahwa :
a.    Perilaku kriminal seperti halnya perilaku lainnya, dipelajari.
b.    Perilaku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.
c.    Bagian penting dari mempelajari perilaku kriminal terjadi dalam pergaulan intim dengan mereka yang melakukan kejahatan, yang berarti dalam relasi langsung di tengah pergaulan.
d.    Mempelajari perilaku kriminal, termasuk didalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/ dorongan atau alasan pembenar.
e.    Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundang-undangan; menyukai atau tidak menyukai.
f.     Seseorang menjadi deliquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan lebih suka melanggar daripada mentaatinya.
g.    Asosiasi diferensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas.
h.    Proses mempelajari perilaku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.
i.      Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal  tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi, oleh karena perilaku non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.
2.    Teori Tegang (Strain Theory)
Teori ini beranggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang selalu memperkosa hukum atau melanggar hukum, norma-norma dan peraturan-peraturan setelah terputusnya antara tujuan dan cara mencapainya menjadi demikian besar sehingga baginya satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui saluran yang tidak legal. Akibatnya, teori “tegas” memandang manusia dengan sinar atau cahanya optimis. Dengan kata lain, manusia itu pada dasarnya baik, karena kondisi sosiallah yang menciptakan tekanan atau stress, ketegangan dan akhirnya kejahatan.
3.    Teori Kontrol Sosial (Social Control Theory)
Landasan berpikir teori ini adalah tidak melihat individu sebagai orang yang secara intriksik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan antitesis di mana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak pidana. Mengingat bahwa kita semua dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan di dalam masyarakat, delinkuen di pandang oleh para teoretisi kontrol sosial sebagai konsekuensi logis kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum.
Terdapat empat unsur kunci dalam teori kontrol sosial mengenai perilaku kriminal menurut Hirschi (1969), yang meliputi :
a.    Kasih Sayang
Kasih sayang ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada antara individu dan saluran primer sosialisasi, seperti orang tua, guru dan para pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan ukuran tingkat terhadap mana orang-orang yang patuh pada hukum bertindak sebagai sumber kekuatan positif bagi individu.
b. Komitmen
Sehubungan dengan komitmen ini, kita melihat investasi dalam suasana konvensional dan pertimbangan bagi tujuan-tujuan untuk hari depan yang bertentangan dengan gaya hidup delinkuensi.
c. Keterlibatan
Keterlibatan, yang merupakan ukuran kecenderungan seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan konvensional mengarahkan individu kepada keberhasilan yang dihargai masyarakat.
a.    Kepercayaan
Akhirnya kepercayaan memerlukan diterimanya keabsahan moral norma-norma sosial serta mencerminkan kekuatan sikap konvensional seseorang. Keempat unsur ini sangat mempengaruhi ikatan sosial antara seorang individu dengan lingkungan masyarakatnya.
4.    Teori Label (Labeling Theory)
Landasan berpikir dari teori ini diartikan dari segi pandangan pemberian norma, yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label oleh masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya. (Gibbs dan Erickson, 1975; Plummer 1979; Schur 1971).
Terdapat banyak cara dimana pemberian label itu dapat menentukan batas bersama dengan perilaku kriminal telah dijadikan teori, misalnya bahwa pemberian label memberikan pengaruh melalui perkermbangan imajinasi sendiri yang negatif. Menurut teori label ini maka cap atau merek yang dilekatkan oleh penguasa sosial terhadap warga masyarakat tertentu lewat aturan dan undang-undang sebenarnya berakibat panjang yaitu yang di cap tersebut akan berperilaku seperti cap yang melekat itu. jadi sikap mencap orang dengan predikat jahat adalah kriminogen.
5. Teori Psikoanalitik (Psyco Analytic Theory)
Menurut Sigmund Freud, penemu psikonanalisa, hanya sedikit berbicara tentang orang-orang kriminal. Ini dikarenakan perhatian Freud hanya tertuju pada neurosis dan faktor-faktor di luar kesadaran yang tergolong kedalam struktur yang lebih umum mengenai tipe-tipe ketidakberesan atau penyakit seperti ini. Seperti yang dinyatakan oleh Alexander dan Staub (1931), kriminalitas merupakan bagian sifat manusia. Dengan demikian, dari segi pandangan psikoanalitik, perbedaan primer antara kriminal dan bukan kriminal adalah bahwa non kriminal ini telah belajar mengontrol dan menghaluskan dorongan-dorongan dan perasaan anti-sosialnya.
1.    Teori Rancangan Pathologis (Pathological Simulation Seeking)
Menurut Herbert C. Quay (1965) mengemukakan teori kriminalitas yang didasarkan pada observasi bahwa banyak kejahatan yang nampak memberikan seseorang perasaan gempar dan getaran hati atau sensasi. Kriminalitas merupakan manifestasi “banyak sekali kebutuhan bagi peningkatan atau perubahan-perubahan dalam pola stimulasi si pelaku”. Abnormalitas primer oleh karenanya dianggap sebagai sesuatu yang terletak dalam respon psikologis seseorang pada masukan indera. Berarti perilaku kriminal merupakan salah satu respon psikologis sebagai salah satu alternatif perbuatan yang harus ditempuh. Lebih spesifik lagi telah dihipotesakan bahwa para kriminal memiliki sistem urat syarat yang hiporeaktif terhadap rangsangan.
Beberapa bahasan dari teori rangsangan pathologis yang perlu mendapat perhatian :
a.    Kriminal dilakukan dengan sistem urat syarat yang diporeaktif dan otak yang kurang memberi respon, keadaan demkian tidak terjadi dalam vakum, melainkan berinteraksi dengan tujuan tempat tinggal tertentu dimana individu hidup dalam pergaulan.
b.    Anak-anak pradelinkuen cenderung membiasakan diri terhadap hukuman yang diterimanya dan rangsangan ini dengan mudah menambah frustasi dikalangan orang tua. Pola ini kemudian bergerak dalam lingkungan interaksi negatif “orang tua dan anak” yang pada gilirannya membentuk remaja dan orang dewasa yang bersifat bermusuhan, memendam rasa benci dan anti sosial. Kecenderungan mencuri rangsangan pathologis ini merupakan bagian dari gambaran kriminal.
c.    Interaksi orang-orang keadaan meliputi hipotesa :
1)    Bahwa respon parental yang negatif dan tidak konsisten terhadap perilaku mencari rangsangan atau stimuli sang anak, merupakan daya etiologis dalam perkembangan kecenderungan-kecenderungan kriminalitas selanjutnya.
2)    Bahwa abnormalitas psikologis sang anak akan menyulitkan baginya mangantisapasi konsekuensi yang menyakitkan atas perbuatannya.
Kedua faktor di atas merupakan faktor yang memberi kontribusi kepada siklus yang merugikan dalam interkasi orang tua anak yang bersifat negatif yang pada gilirannya berkulminasi pada pola kriminalitas berat. Christopher Mehew dalam penelitiannya mengenai kriminal dan prikologis menemukan adanya pengaruh kejiwaan terhadap perilaku jahat yang disimpulkan sebagai tingkat kedewasaan yang terhambat (emotional-immaturity) dan ternyata kondisi ini dipengaruhi  oleh masalah-masalah keluarga yaitu disharmonie home dan broken home.

2.    Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory)
Landasan berpikir teori ini menitikberatkan pada utilitas atau pemanfaatan yang diantisipasi mengenai taat pada hukum lawan perilaku melawan hukum. Pendukung semula teori pilihan rasional, Gary Becker (1968) menegaskan bahwa akibat pidana merupakan fungsi, pilihan-pilihan langsung serta keputusan-keputusan yang dibuat relatif oleh para pelaku tindak pidana bagi yang terdapat baginya. Pilihan rasional berarti pertimbangan-pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan perilaku yang kriminal atau non kriminal, dengan kesadaran bahwa ada ancaman pidana apabila perbuatannya yang kriminal diketahui dan dirinya diprotes dalam peradilan pidana. Apabila demikian seolah-olah semua perilaku kriminal adalah keputusan rasional

Pengaruh Game Online


A.    Hal Menarik dari Game Online
Komputer dan game adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak-anak masa kini. Bagi kebanyakan anak remaja, bermain game di komputer, konsol, atau perangkat genggam adalah salah satu kegiatan rutin yang mereka lakukan setiap hari. Sebenarnya tak masalah selama masih dalam batas wajar, bagaimanapun mereka hidup dan berkembang di jaman serba teknologi.
Game-game beraliran Massively Multiplayer Online Role-Playing Game (MMORPG) seperti “World of Warcraft” nyatanya berhasil menarik jutaan pemain setiap harinya. Umumnya pemain menikmati hobi mereka ini sampai rela berjam-jam ngegame. Banyak pula yang mengaku tidak bisa berhenti bermain.
Namun bagaimana jika sudah sampai mengganggu aktivitas lain, misal sudah tidak peduli dengan kehidupan di luar, nilai sekolah jeblok, tidak mau lagi beraktivitas di kegiatan ekskul, menarik diri dari dunia luar atau sering terpaku berlama-lama ngegame di depan komputer / gadget elektronik lainnya? Besar kemungkinan anak sudah kecanduan game.
Kecanduan game memang tidak termasuk dalam klasifikasi diagnostik dan statistik gangguan mental, atau yang biasa disebut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). Meskipun demikian, banyak pakar kesehatan mental mengatakan bahwa bermain video game hampir sama dengan bermain judi dalam hal proses kecanduannya.
Ketahuilah bahwa di game multiplayer online, para pemain bisa berperilaku sangat kontras dengan kepribadian mereka sehari-hari. Di sini, seorang anak pasif bisa menjadi agresif, anak yang sulit mendapat teman tiba-tiba mampu berteman atau memimpin pasukan.
Mereka bahkan bisa melampiaskan kebrutalan mereka di dunia maya tanpa konsekuensi yang nyata. Jangan heran jika ada anak yang kesulitan berteman di dunia nyata ternyata sangat mudah bergaul dan mendapatkan teman di dunia maya karena di sini mereka bisa berinteraksi tanpa harus bertatap muka.
Menurut para dokter yang meneliti kecanduan video game, alasan seseorang bisa ketagihan bermain game adalah karena game tersebut sengaja dirancang agar pemainnya semakin sering bermain game.yaitu :
1. Pemain butuh menghabiskan banyak waktu dan energi untuk menciptakan sebuah karakter dan persona virtual mereka. Game tersebut memang dirancang agar mereka ‘menginvestasikan’ banyak waktu dan usaha untuk memperluas karakter dan kemampuan mereka.
2. Belum lagi pemain difokuskan untuk mendapatkan senjata baru atau score yang tinggi, ini akan membuat pemain enggan berhenti bermain sebelum mereka memenuhi target mereka. Tentu saja, begitu target tercapai, selalu ada target yang lebih besar berikutnya, dan berikutnya.
3. Game multiplayer online memang dirancang untuk interaktif agar pemain bekerja sama untuk mencapai tugas tertentu. Karena itu pemain merasa tidak dapat meninggalkan permainan sebelum memenuhi kewajiban untuk tim mereka.
4. Daya tarik lainnya dari game tersebut adalah aspek sosial. Di dunia game online tersebut mereka bisa menjadi siapa saja sesuai yang mereka inginkan, dan relatif mudah untuk meningkatkan karakter. Masalahnya adalah mereka kesulitan belajar bersosialisasi di dunia nyata, khususnya buat mereka yang memang kesulitan berteman.
5.  Candu lainnya yang menarik adalah game ini bisa dijadikan sebagai pelarian dari masalah-masalah di dunia nyata. Tentu saja hal ini merupakan pengaruh negatif karena lebih banyak menghabiskan waktu bermain game ketimbang menyelesaikan masalah yang dihadapi.


B.     Ciri-ciri Anak yang Kecanduan Game Online
Game online cukup membuat khawatir para orang tua, anak-anak yang kecanduan game online mereka seolah-olah menganggap masa depan mereka ada di dunia game sehingga masa depan yang sebenarnya dan seharusnya dijalani seperti sekolah, belajar, mengerjakan tugas sekolah dianggap tidak penting dan juga dianggap hanya menggangu dari aktifitas bermain game saja.
Berikut ini gejala atau ciri-ciri anak-anak yang kecanduan bermain game biasa dan game online, yaitu :
a.       Main game yang sama dengan waktu yang lebih dari 3 jam sehari.
b.      Rela mengeluarkan uang yang banyak untuk bermain game tersebut.
c.       Prestasi sekolah pada umumnya menurun dan anak tersebut menjadi malas untuk belajar.
d.      Sering tertidur dikelas atau terlihat tidak bersemangat ketika sedang belajar didalam kelas
e.       Tidak mengerjakan tugas yang dierikan oleh guru.
f.       Lebih suka belajar meningkatkan prestasi game daripada prestasi sekolah, dengan kata lain anak tersebut merasa bangga ketika ia bisa menyelesaikan masalah atau rintangan pada game tersebut menuju kepada level yang lebih tinggi.
g.      Bermain game dalam jangka waktu yang lama dalam kurun waktu yang terus-menerus.
h.      lebih memilih bermain game daripada bermain dengan teman
i.        Mempunyai teman atau komunitas sesama pecinta game.
j.        Merasa kesal dan marah jika dilarang bermain game bahkan bisa membenci orang yang melarangnya tersebut.
k.      Senang menularkan hobi bermain game pada orang disekitarnya.
l.        Sangat antusias sekali jika ditanya mengenai game.
C.    Dampak Buruk dari Kecanduan Game Online
Salah satu dampak buruk dari bermain game online adalah :
1.  Dapat merusak mata, karena kalo kita maen game online gak mungkin cuma sebentar pastinya berjam-jam
2. Merusak cara berpikir kita, kebanyakan pemain Game Online otaknya telah diperbudak oleh Game Online itu sendiri
3. Dari segi keuangan. Pasti kita akan menghabiskan cukup banyak  uang dan tidak sedikit uang yang kita habiskan sia-sia untuk voucher game yang sifatnya sementara.
4. Dari segi waktu. Ini khususnya buat para pelajar yang hobi maen game online, tidak sedkit waktu yang kita habiskan di depan layar komputer untuk bermain Game Online sedangkan pelajaran di sekolah di abaikan
5. Ini mungkin dari segi ketaatan. Jika kita sudah bermain Game Online pasti kita lupa akan segalanya dan ketaatan terhadap orang tua pun berkurang kita lupa akan ibadah, makan
6. munculnya kejahatan atau aksi kriminal yang dilakukan oleh anak dan remaja. Pertama karena terdesak kebutuhan uang untuk terus bermain di warnet. Kedua, permainannya yang penuh aksi dan tantangan yang secara tidak sengaja mengajarkan anak pandai menirunya.
7. khusus untuk anak-anak banyak sekali kerugian yang akan didapat, nilai sekolah akan anjlok,sering tertidur dikelas, tidak banyak waktu untuk bersosialisasi dengan teman, malas belajar, dll.
Sementara gejala-gejala fisik yang bisa menimpa seseorang yang kecanduan game antara lain:
- Carpal tunnel syndrome (gangguan di pergelangan tangan karena saraf tertekan,
misalnya jari-jari tangan menjadi kaku)
- mengalami gangguan tidur
- sakit punggung atau nyeri leher
- sakit kepala
- mata kering
- malas makan / makan tidak teratur
- mengabaikan kebersihan pribadi (misal: malas mandi)
D.    Peran Guru dan Orang tua dalam Menanggulangi Masalah tersebut.
a.      Peran Guru
Siswa yang kecanduan teknologi informasi saat ini menjadi fenomena yang jamak. Terutama game online, dibawah ini ada beberapa alternatif yang harus dilakukan oleh guru dalam menghadapi siswa yang menyalahgunakan teknologi dan kecanduan game online tersebut, yaitu :
·         Guru tidak akan mampu melarang anak untuk tidak menggunakan teknologi informasi, karena sudah tidak bisa dipungkiri lagi kita sekarang hidup pada era globalisasi dan jamannya teknologi.
·         Guru tidak melakukan judgement atau sikap permusuhan terhadap anak yang sering bermain game online, tetapi guru harus hadir sebagai teman dan dapat mengobrol dengan siswa dari hati ke hati.
·         Melakukan pendampingan atau memberikan saran kepada orang tua untuk melakukan pendampingan ketika anak sedang bermain.
·         Guru harus mengalihkan sedikit-sedikit pada aktifitas teknologi informasi yang siswa dapat menggemarinya seperti game edukasi dll.
·         Pemanfaatan teknologi tepat guna, guru harus membimbing siswa dan memberikan pemahaman kepada siswa tentang bagaimana memanfaatkan teknologi secara benar.
·         Pengajaran nilai moral dan agama mejadi moal utama guru untuk memberikan auto protected kepada siswa. Karena pengawasan siswa mengakses informasi tidak mungkin dilakukan, untuk itu auto proteksi ini sangat penting diberikan agar siswa mampu memilih sendiri mana informasi yang bak dan informasi yang buruk, dan tentunya hal tersebut harus diarahkan oleh seorang guru.
·         Guru harus pandai membaca karakter dan ciri-ciri siswa, umumnya siswa yang kecanduan game online sering tertidur dikelas, tidak mengerjakan PR, tidak bersemangat dalam aktifitas dikelas dll, jika guru sudah melihat tanda-tanda tersebut pada salah satu siswanya, maka guru harus mendekati siswa tersebut dan memberi pengarahan serta edukasi yang membuat siswa patuh terhadap gurunya.
b.      Peran Orang Tua
             Bagi orangtua, harus mengawasi, membatasi, mengarahkan sehingga anak mempunyai pemahaman apa yang boleh diakses dan apa yang tidak boleh diakses anak di bilik-bilik warnet. Bila perlu sekali-kali temani anak bermain atau pantau anak bermain. Dimana biasa bermain, sama siapa, dan titip pengawasan anak sama operator warnet. Boleh anak main game online asal jangan sampai kecanduan karena akan merusak, melupakan kewajiban anak yang lain. Batasi waktu  yang diberikan kepada anak

Manusia Sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial




 2.1.1. Manusia Sebagai Makhluk Individu
            Dalam bahasa latin individu berasal dari kata individium berarti yang tak terbagi, jadi merupakan suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Individu bukan berarti manusia sebagai suatu kesatuan yang tiidak dapat di bagi-bagi melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yaitu sebagai perorangan sehingga sering digunakan sebagai sebutan  « orang-seorang ». atau « manusia perorangan ». Individu merupakan suatu aspek jasmani dan rohani. Dengan kemampuan rohaniahnya individu dapat berhubungan dan berfikir serta dengan pikirannya itu mengendalikan dan memimpin kesanggupan akal dan kesanggupan budi untuk mengatasi segala masalah dan kenyataan yang dialaminya.
            Dari segi jasmaniahnya, manusia memiliki perangkat fisik yang sama, namun apabila kita melihat lebih detail maka akan banyak perbedaan. Perbedaan tersebut terlihat pada bentuk ukuran dan lainnya pada perangkat fisik manusia. Dan itulah yang membuat manusia mudah dibedakan secara fisik. Namun ciri seorang indivisu tidak hanya mudah dikenali  dari fisik atau biologisnya, Sifat, karakter, perangai, atau gaya dan selera orang juga berbeda-beda. Lewat ciri-ciri fisik seseorang pertama kali dikenali, setelah itu baru kita mullai mengenali sifat atau bahasa yang lebih luasnya karekter dari seseorang.
            Manusia sebagai individu memiliki karakteristik yang khas yang kemudian kita sebut sebagai kepribadian. Yingger, seperti dikutip oleh Horton dan Hunt memberikan batasan kepribadian adalah « keseluruhan prilaku seseorang yang merupakan interaksi antara kecenderungan-kecenderungan yang diwariskan (secara biologis) dengan rentan-rentan situasi (lingkungan).
            Menurut Nursid Sumaatmaja (2000), kepribadian adalah keseluruhan prilaku individu yang merupakan hasil interaksi antara potensi potensi bio-psiko-fisikal (fisik dan psikis) yang terbawa sejak lahir dengan rangkaian situasi lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta reaksi mental psikologisnya, jika mendapat rangsangan dari lingkungan. Dia menyimpulkan bahwa faktor lingkungan (fenotip) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seseorang.
2.1.2. Manusia Sebagai Makluk Sosial
            Dalam kehidupan sehari-hari kita tiidak lepas dari pengaruh orang lain. Selama manusia hidup ia tidak kan lepas dari pengaruh masyarakat, di rumah, di sekolah, dan dilingkungan yang lebih besar manusia tidak lepas dari pengaruh orang lain. Oleh karena itu menusia dikatakan sebagai makhluk ssosial, yaitu makhluk yang didalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruhh manusia lain.
            Dalam konteks sosial yang disebut masyarakat, setiap orang akan mengenal orang yang lain, karena itu prilaku manusia selalu terkait pada orang lain. Perilaku manusia dipengaruhi orang lain, ia melakukan sesuatu dipengaruhi faktor diluar dirinya, seperti tunduk pada peraturan, tunduk pada norma masyarakat, dan keinginan mendapat respon positif dari orang lain (pujian).
            Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga dikarenakan pada diri manusia ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Ada kebutuhan sosial (social need) untuk hidup berkelompok dengan orang lain. Menusia memiliki kebutuhan untuk mencari kawan atau teman. Kebutuhan untuk berteman dengan orang lain, seringkali didasari atas kesamaan ciri atau kepentingannya masing-masing. Misalnya, orang kaya cenderung berteman dengan orang kaya, orang yang berprofesi artis cenderung berteman dengan artis lagi. Dengan demikian, akan terbentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang didasari oleh kesamaan ciri atau kepentingan.
            Tanpa bantuan dari manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak. Dengan bantuan orang lain, manusia bisa makan menggunakan tangan, bisa berkomunikasi atau bicara, dan bisa mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya.



2.2. Interaksi Sosial
            Interaksi adalah proses dimana orang-orang berkomunikasi saling pengeruh mempengaruhi dalam pikiran dan tindakan. Seperti kita ketahui, bahwa manusia dalam kehidupan sehari-hari tidaklah lepas dari hubungan satu dengan yang lainnya. Ada beberapa pengertian interaksi sosial yang ada dilingkungan masyarakat. Diantaranya yaitu :
1.      Menurut H. Booner dalam bukunya sosial Psychology memberikan rumusan interaksi sosial bahwa : « interaksi sosial adalah hubungan antar dua individu atau lebih, dimana kelakuan induvidu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang laina tau sebaliknya ».
2.      Menururt Gillin dan Gillin (1954) yang menyatakan bahwa interaksi sisial adalah hubungan-hubungan antara orang-orang secara individual, antar kelompok orang, dan orang perorangan dengan kelompok
3.      Interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara individu dengan individu, antara kelompok dengan kelompok, antar individu dengan kelompok.
Interaksi Sosial antar individu terjadi manakala dua orang bertemu, interaksi dimulai, pada saat itu mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Aktifitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk dari interaksi sosial.  
Interaksi sosial terjadi dengan didasari oleh faktor-faktor : imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati.
Imitasi adalah suatu proses peniruan atau meniru. Banyak prilaku kita sebenarnya diawali dengan meniru. Pada usia kanak-kanak dan dewasa kita melakuakan peniruan, seperti meniru piotongan model baju, celana, model rambut dan lain-lain. Dalam proses peniruan biasanya lebih mudah terjadi dan mudah berubah, artinya proses peniruan sering kali tidak bertahan lama, karena ada model baru meka berubah lagi pada model tersbut ketika model tersebut diminati.
Sugesti adalah suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa dikritik terlebih dahulu. Yang dimaksud sugesti disini ialah pengaruh psikis, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya daya kritik.
Arti sugesti dan imitasi dalam ubungannya, dengan interaksi sosial adalah hampir sama. Bedanya ialah bahwa dalam imitasi orang yang satu mengikuti salah satu dirinya, sedangkan pada sugesti seseorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya, lalu diterima oleh orang lain diluarnya.
Orang akan mudah terkena sugesti orang lain manakala ia berada pada suatu keadaan yang dilematis, yaitu keadaan dimana orang tersebut dihadapkan kepada pilihan yang sama-sama sullit.
Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah. Disini dapat diketahui, bahwa hubungan sosial yang berlangsung pada identifikasi adalah lebih mendalam dari pada hubungan yang berlangsung atas proses-prosses sugesti maupun imitasi.
Simpati adalah perasaan tertariknya orang satu terhadap orang yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan berdasarkan penilaian perasaan seperti juga pada proses identifikasi. Bahkan orang tiba-tiba merasa tertarik pada orang ain dengan sendirinya, karena keseluruhan cara-cara tingkah laku menarik baginya.
2.3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan pertentangan atau pertikaian (conflict). Suatu kedaan dapat ditangkap sebagai bentuk keempat dari interaksi sosial, keempat bentuk pokok dari interaksi sosial tersebut tidak perlu merupakan kontinuitas dalam arti bahwa interaksi itu dimulai dengan adanya kerja sama yang kemudan menjadi persaingan serta memuncak menjadi pertikaian untuk akhirnya sampai pada akomodasi.
Gillin and Gillin pernah mengadakan penggolongan yang lebih luas lagi. Menurut mereka ada duamacam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial :
a.       Proses Asosiatif, terbagi dalam tiga bentuk khusus yaitu akomodasi, asimilasi, dan akturasi.
b.      Proses Disosiatif, mencakup persaingan yang meliputi « contravention » dan pertentangan pertikaian.

Adapun interaksi yang pokok proses-proses adalah :
1. Bentuk Interaksi Asosiatif
a.       Kerja Sama (cooperation)
            beberapa orang sosiolog enganggap bahwa posisi merupakan bentuk interaksi sosial yang pokok, sebaliknya sosiolog lainnya mengenggap mereka bahwa kerja sama merupakan pruses utama. Golongan yang terakhir tersebut memahamkan kerjasama untuk menggambarkan sebagian besar bentuk interaksi sosial, atas dasar bahwa segala macam bentuk interaksi tersebut dapat dijumpai pada semua kelompok manusia.
            Kerjasama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya dan kelompok lainnya. Sehubungan dengan pelaksanaan kerjasama ada tiga bentuk kerjasama yaitu :
·         Bergaining, pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antara dua organisasi atau lebih.
·         Cooperation, proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.
·         Coalition, kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang memiliki tujuan sama.
b.      Akomodasi (accomodation)
Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan, berarti suatu kenyataan adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang perorangan dan kelompok manusia, sehubungan dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat.
Adapun bentuk-bentuk dari akomodasi, di antaranya :
·         Coertion, yaitu suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena adanya paksaan ;
·         Compromise, suatu bentuk akomodasi, dimana pihak yang terlibat masing-masing mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada ;
·         Arbitration, suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak yang berhadapan tidak sanggup untuk mencapainya sendiri ;
·         Mediation, hampir menyerupai arbitration diundang pihak ke tiga yang retrial dalam soal perselisihan yang ada ;
·         Conciliation, suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih, bagi tercapainya suatu persetujuan bersama ;
·         Toleration, bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil bentuknya ;
·         Stelemate, merupakan suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang berkepentingan mempunyai yang seimbang, berhenti pada titik tertentu dalam melakukan pertentangannya ;
·         Adjudication, yaitu perselisihan perkara atau sengketa di pengadilan.

1.      Bentuk Interaksi Disosiatif
a.       Persaingan
Peersaingan adalah bentuk interaksi yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang bersaing untuk mendapatkan keuntungan tertentu bagi dirinya dengan cara menarik perhatian atau mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan kekerasan.
b.      Kontravensi (contravention)
Kontravensi bentuk interaksi yang berbeda antara persaingan dan pertentangan. Kontravensi ditandai oleh adanya ketidakpastian dari seseorang, perasaan tidak suka yang ddisembunyikan dan kebencian terhadap kepribadian orang, akan tetapi gejala-gejala tersebut tidak sampai menjadi pertentangan atau pertikaian.

c.       Pertentangan (conflict)
Pertentangan adalah suatu bentuk interaksi individu atau kelompok sosial yang berusaha untuk mencapai tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai ancaman atau kekerasan.
Pertentangan memiliki bentuk-bentuk yang khusus, antara lain :
1.      Pertentangan pribadi, pertentangan antar individu ;
2.      Pertentangan rasional, pertentangan yang terjadi karena perbedaan ras ;
3.      Pertentangan kelas sosial, pertentangan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan antara kelas sosial ;
4.      Pertentangan politik, biasanya terjadi di antara partai politik.

2.4. Sosialisasi
Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu.
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal.
1.      Sosialisasi Primer
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.
Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.

2.      Sosialisasi Sekunder
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama.

Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. contoh, standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah, misalnya, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Formal
Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di sekolah dan pendidikan militer.

2.      Informal
Sosialisasi tipe ini terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat.

Baik sosialisasi formal maupun sosialisasi informal tetap mengarah kepada pertumbuhan pribadi anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seorang siswa bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami proses sosialisasi. dengan adanya proses soialisasi tersebut, siswa akan disadarkan tentang peranan apa yang harus ia lakukan. Siswa juga diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yang baik dan disukai teman atau tidak? Apakah perliaku saya sudah pantas atau tidak?
Meskipun proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat suluit untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.

2.5. Pola sosialisasi
Sosiologi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized other.




2.6. Proses sosialisasi
Menurut George Herbert Mead
George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan menlalui tahap-tahap sebagai berikut.
a.       Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.
Contoh: Kata "makan" yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan "mam". Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.
b.      Tahap meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other)
c.       Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
d.      Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized other)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama--bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya-- secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.

 Menurut Charles H. Cooley
Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.
1. Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.
Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di berbagai lomba.
2. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.'
Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dia.
3. Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut.
Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.
Ketiga tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai "anak nakal" sesuai dengan penilaian orang terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu kebenarannya. for dio kurniawan
2.7.Agen sosialisasi
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah.
Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.
Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.

1.      Keluarga (kinship)
Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orabng yang berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pramusiwi, menurut Gertrudge Jaeger peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.
2.      Teman pergaulan
Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.
Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan.
3.      Lembaga pendidikan formal (sekolah)
Menurut Dreeben, dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan rumah seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.
4.      Media massa
Yang termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.

Contoh:
Penayangan acara SmackDown! di televisi diyakini telah menyebabkan penyimpangan perilaku anak-anak dalam beberapa kasus.
Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya.

Gelombang besar pornografi, baik dari internet maupun media cetak atau tv, didahului dengan gelombang game eletronik dan segmen-segmen tertentu dari media TV (horor, kekerasan, ketaklogisan, dan seterusnya) diyakini telah mengakibatkan kecanduan massal, penurunan kecerdasan, menghilangnya perhatian/kepekaan sosial, dan dampak buruk lainnya.

5.      Agen-agen lain
Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan oleh institusi agama, tetangga, organisasi rekreasional, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan membuat presepsi mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen ini sangat besar.



3.1. Deskripsi Kasus
            Kasus pengeroyokan Brigadir L Manurung, anggota Dit Narkoba Poldasu oleh sejumlah anggota TNI dari kesatuan Zipur Kodam I/BB, di kawasan ringroad  Jalan Gagak Hitam, Medan, Minggu (11/12) dinihari dinilai oleh Polri hanya akibat salah paham.
Tidak ada tindak pidana dalam peristiwa yang menyebabkan Brigadir L Manurung kritis dan dirawat di RM Bhayangkara Poldasu karena dianiaya para anggota TNI itu. Seorang anggota Zipur Prada Andi Jualianto juga harus dilarikan ke rumah sakit karena tertembus peluru dari pistol yang ditembakkan Brigadir L Manurung untuk membela diri dari tindak pengeroyokan.
"Kita melihat kasus ini berawal dari kesalahpahaman saja. Jadi unsur pidana atas kasus ini tidak ada. Murni salah paham saja," kata Kabid Humas Poldasu, Kombes Pol Raden Heru Prakoso, Senin (12/12), di Mapoldasu, Jalan Sisingamangaraja KM 10,5, Medan.
Dikatakan Heru, dirinya meminta kepada media agar tidak salah memberikan beritanya. "Harusnya wartawan mengecek langsung ke tempat kejadian perkara (TKP), biar tahu permasalahannya. Tapi sekali lagi ini masalah salah paham saja," sebutnya.
Disinggung, dalam kasus itu ada korban yakni Brigadir L Manurung mengalami luka tusuk sangkur akibat dikeroyok sejumlah TNI dan Prada Andi Julianto luka tembak akibat tertembus peluru, Heru menjelaskan bahwa tindakan itu terjadi karena kedua belah pihak tidak mengetahui mereka adalah anggota polisi dan TNI.
"Prada Andi Julianto dan Brigadir L Manurung tidak saling tahu mereka anggota. Akibatnya peristiwa itu terjadi," ujar Heru Prakoso.
Kembali ditanya, Prada Andi Julianto tertembus peluru yang diletuskan Brigadir L Manurung, Heru mengatakan, penembakan dilakukan karena Brigadir L Manurung dikeroyok sejumlah anggota TNI. "Dia menembak untuk bela diri, karena dikeroyok," ungkapnya.
Heru mengungkap kasus ini berawal dari penggerebekan kasus pidana, yakni narkoba, judi atau lainnya. Pasti Poldasu akan mengusutnya, karena peristiwa yang mengakibatkan luka-luka efek dari kerja polisi.
Dalam kasus ini, Wakapoldasu Brigjen Pol S Allagan telah menemui pihak Zipur I/BB. Dalam pertemuan itu disebutkan peristiwa pengeroyokan akibat kesalahpahaman anggota. Hal ini dilakukan agar tidak ada kekeliruan sesama anggota TNI dan polisi.
"Kalau dilihat, kasus ini terjadi karena senggolan kendaraan saja. Merasa tidak terima maka terjadi peristiwa ini," ungkapnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Brigadir L Manurung kritis akibat dikeroyok sejumlah oknum anggota TNI dari kesatuan Yonif Zipur Kodam I/BB. Selain babak belur dibukuli, ia menderita luka cukup parah karena ditikam menggunakan sangkur.
Sedangkan anggota TNI Prada Andi Julianto yang diduga ikut dalam pengeroyokan itu juga kritis karena tertembus peluru pistol Brigadir L Manurung yang membela diri. Kedua aparat negara itu kini masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
Kejadian berawal ketika Brigadir L Manurung melintas di kawasan ringroad Jalan Gagak Hitam menuju arah Pondok Kelapa, Jalan Asrama, Medan mengendarai mobil Kijang. 
Di saat yang bersamaan, melintas seorang anggota TNI berpakaian preman mengendarai sepeda motor di Jalan Gagak Hitam dari arah Jalan Asrama. Ketika anggota TNI itu berputar di salah satu persimpangan menuju arah Jalan Asrama, melintas Brigadir L Manurung dan terjadi senggolan.
Anggota TNI itu pun mengejar Brigadir L Manurung dan menghalangi laju mobil. Keduanya pun terlibat adu mulut.
Sekitar 20 menit kemudian, puluhan oknum anggota TNI Yonif Zipur Kodam I/BB  mengendarai sepeda motor tiba di TKP.  Brigadir L Manurung pun babak belur dipukul para oknum anggota TNI. Sang polisi masih dipukuli meskipun mengaku anggota Dit Narkoba Poldasu.
Brigadir L Manurung pun mencoba menyelamatkan diri dengan lari ke arah pos sekuriti perumahan Tasbi I, yang hanya berjarak sekitar 10 meter dari TKP. Para oknum anggota TNI mengejar Brigadir L Manurung dan berhasil ditangkap. Hujan pukulan pun tak terhindarkan.
Bahkan, salah seorang anggota oknum TNI diduga mengeluarkan sangkur dan menghujamkanya ke tubuh Brigadir L Manurung. Ia pun melawan dengan mengeluarkan pistol dari pinggangnya. Dorr! Satu peluru mengenai dada Prada Andi Julianto dan langsung roboh.
Prada Andi Julianto dilarikan ke RSUD Pirngadi Medan. Sedangkan Brigadir L Manurung dilarikan ke RS Bhayangkara, Jalan KH Wahid Hasyim, Medan.
Kapendam I/Bukit Barisan Letkol Halilintar Sembiring membenarkan Prada Andi Julianto anggota TNI yang bertugas di Batalyon Zipur Medan. Tim dokter telah mengoperasi  pengangkatan proyektil  dari tubuh Prada Andi. “Sudah dilakukan operasi," katanya.
Kapendam menjelaskan, sejumlah anggota TNI sudah dimintai keterangan terkait peristiwa itu oleh Den POM.
"Beberapa anggota sudah dimintai keterangan. Karena ia (Andi) masih dirawat, hasil pemeriksaannya belum selesai," ujarnya.
Halinlintar mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan  Poldasu terkait kejadian ini.
(MedanBisnis – Medan - M Fahmi)

3.2. Analisis Kasus
Berdasarkan sudut pandang interaksi yang terjadi dalam kejadian tersebut dapat kita katakan bahwa kejadian tersebut berawal dari komunikasi yang tidak berjalan dengan baik. Berawal dari kendaraan bermotor dan mobil yang bersenggolan dan keduanya kaget dan saling emosi karena tidak saling terima. Semua itu akibat dari komunikasi atau interaksi antar individu yang tidak berjalan dengan baik akibat terlarut dalam emosi. Berdasarkan dalam tinjauan pustaka interaksi semacam ini dinamakan conflict atau pertentangan. Dengan demikian kita dapat katakana bahwa dalam sebuah interaksi social harus adanya kondisi yang dingin tanpa luapan emosi supaya interaksi berjalan dengan baik, oleh karena keduanya tidak saling tahu bahwa mereka adalah seorang TNI dan seorang Drigadir di poldasu medan, andai saja keduanya tidak dalam keadaan emosi dan sampai pada menjelaskan leter belakang masing-masing, tidak akan jauh mereka akan beralih saling menghormati. Brigadir L Manurung tidak hanya berselisih dengan seorang anggota TNI saja namun ketika itu berdatangan anggota TNI lain hingga 10 orang mengeroyok beliau. Kedatangan sepuluh oknum TNI tersebut menurut keterangan di dalam tinjauan pustaka terjadi akibat rasa simpati 10 oknum TNI terhadap oknum TNI yang terlibat perselisihan dengan L Manurung, sehingga munculah rasa solidaritas dari ke 10 oknum TNI tersebut.
Namun ada kemungkinan juga dalam artikel tersebut ada informasi lain yang disembunyikan. Kemi rasa bahwa kalimat yang menyetakan ada kesalah fahaman tersebut hanya selubung untuk menutupinya. Pasalnya, sebuah kesalah fahaman berbuah pertumpahan darah. Mungkin saja isu bahwa adanya sentiment negatif TNI terhadap  Polisi dan sebaliknya itu yang menjadi akibat perselisihan yang hebat tersebut. Interaksi mungkin sudah berlangsung dan kedua belah pihak telah mengetahui latar belakang masing-masing, namun karena adanya sentimen negatif antar kedua belah pihak, maka dengan hal kecil seperti itu sampai membuahkan insiden yang memakan korban. Karena bias saja dalam tindak lanjut kasus tersebut media web dijadikan alat pembersihan citra kedua instansi pemerintah tersebut. Takut ada anggapan bahwa antara TNI dan polisi ada ketegangan atau ada gesekan-gesekan baik itu hanya oknumnya, namun hal tersebut penting untuk di rahasiakan karena berkaitan dengan stabilitas social Negara kesatuan republik Indonesia. Sebagai alat sosialisasi yang cukup efektif maka ditulislah artikel ini dalam web dengan tujuan demikian.